Sebuah hal yang patut disyukuri
adalah keikutsertaan saya dalam Temu Inklusi 2016 (25-27/8) lalu. Banyak hal,
jejaring, pengalaman, pun pemahaman baru yang saya dapat bersama dengan
kawan-kawan Braille’iant. Well, singkatnya Temu Inklusi adalah sebuah
forum akbar bertemunya aktifis difabel se Indonesia. Kegiatan berlangsung
selama tiga hari, berlokasi di Desa Inklusi, Sidorejo, Lendah, Kulonprogo.
Kegiatan ini diprakarsai oleh SIGAB dengan merangkul berbagai lembaga, yayasan,
pun organisasi terkait.
Saya sampai di TKP pada Kamis pagi.
Braille’iant banyak ambil bagian dalam acara ini, di antaranya berkesempatan
untuk membuka stand, hingga terpilih sebagai salah satu pengisi Apreciate
Inquiry. Kurang lebih pukul sepuluh, acara resmi dibuka. Pembukaan makin
semarak dengan Tarian Angguk dari siswa-siswi SLB. Keseruan Temu Inklusi hari
pertama diisi dengan Seminar Nasional dan Apreciate Inquiry.
Seminar Nasional yang dihelat
berjudul, Dari Desa Berbagi Gagasan Dan Praktik Baik Menuju Indonesia Inklusi,
dengan pembicara Nyoman Shuida, Imam Aziz, Bito Wikantosa, dan M. Joni
Yulianto. Saya tidak berkesempatan mengikuti seminar ini karena fokus ke stand.
Oleh karenanya, mohon maaf saya tak bisa banyak bercerita terkait hal ini. Saya
baru kemudian aktif tepatnya saat Apreciate Inquiry sesi 3 dimulai, saat itu
jatah Braille’iant presentasi.
Well sebelumnya, apa sebenarnya Apreciate
Inquiry (AI) ini? Singkatnya AI adalah sebuah forum untuk mengapresiasi dan
berbagi gagasan atau pengalaman kerja untuk mewujudkan inklusi sosial difabel
di masyarakat. Braille’iant bersama dengan Diva Ojek, Perspektive Jogja, dan
Signteraktif (SIGAB) menjadi pengisi di sesi ketiga (terakhir). Kali itu
Braille’iant diwakili oleh kak Hayu Austina. Kak Hayu berkisah tentang salah
satu pengalaman jatuh bangun Braille’iant dalam memperjuangkan teman-teman
difnet untuk bisa ikut serta dalam TOEFL test.
(dari kiri) Signteraktif, Braille'iant, Perspektif Jogja, Difa Ojek |
Sesi ketiga ini meskipun pesertanya
tidak full seperti sesi sebelumnya, tetap menarik disimak. Masing-masing
pengisi memiliki keunikan pun substansi yang bermacam-macam. Sayang dilewatkan
lah. Boleh saya ceritakan singkat. Pertama dari Perspetive Jogja, ini bergerak
dalam bidang seni rupa, membongkar cara berpikir melalui seni rupa. Anak-anak
difabel dilatih dalam eksplorasi titik. Berkarya melalui titik. Lembaga ini
telah banyak berkiprah dalam pameran lokal pun internasional.
Kedua dari Signteraktif. Signteraktif
digagas salah satunya karena data jumlah penerjemah bahasa dibandingkan dengan
kawan-kawan difabel rungu cukup jomplang. Kalau saya tidak salah ingat, kurang
lebih ada 1:1000 lah. Singkatnya, Signteraktif ini merupakan sebuah aplikasi
bantu berbasis online berupa penerjemah bagi kawan-kawan difabel rungu.
Rencananya, Signteraktif akan diluncurkan dalam waktu dekat.
Lalu dari Diva Ojek City Tour dan
Transport. Sebuah inovasi yang cerdas dalam memaksimalkan potensi teman-teman
difabel grahita. Telah dan terus melebarkan sayap dalam banyak kota. Ojek yang
digunakan sudah didesain khusus untuk ramah difabel. Setingkat di atas ojek
aplikasi online pada umumnya, DivaJek menyasar pada kebutuhan tour pun
travelling sehingga charge yang dipatok pun berbeda.
Sesi AI ditutup saat Maghrib tiba.
Saya membawa oleh-oleh buku berjudul Menerjang Batas Mengejar Impian dengan
bermodalkan dua buah pertanyaan sebelumnya. Hehe. Acara selanjutnya adalah
Malam Apresiasi Seni. Kesenian lokal banyak mewarnai. Mulai dari Tari Angguk
hingga stand up komedi Direktur SIGAB, Pak Joni Yulianto.
Persembahan Tari Angguk |
Stand Up Comedy Pak Joni (Direktur SIGAB) |
Lalu meluncurlah kami ke penginapan
(rumah warga). Kami bertujuh dibagi ke dalam empat tempat penginapan. Saya
bersama dengan kak Noni di tempah Mbah Girah Tubin. Menuju lokasi, kami
didampingi oleh seorang LO. Dia berpesan baik berangkat maupun pulang untuk
selalu menghubunginya. Service yang baik menurut saya. Sampai ditempat,
ternyata sudah ada satu peserta di situ. Ia bernama mbak Pipit dari KOMPAK.
Rumah mbah Girah cukup ndeso. Meski
dekat dengan SD namun kanan kiri depan belakang mbah Girah hanyalah kebon
mlompong. Lumayan jauh jarak dari sini ke lokasi Temu Inklusi. Mbah Girah baik
sekali dalam menerima kedatangan kami. Kami langsung dijamu dengan teh panas
dan suguhan makanan lokal. Rumaket lah istilah Jawanya. Dan saya rasa ini
berlaku disetiap rumah yang dijadikan home stay.
Saya sempet beberapa kali mengobrol
dengan Mbak Pipit. Blio seorang aktifis yang asik. Blio sebelumnya sudah
bergabung dengan berbagai macam lembaga. Pernah ia bergabung dalam lembaga yang
konsen terhadap isu-isu pelanggaran HAM berat, kekerasan terhadap perempuan,
dan lainnya. Ia pernah berucap begini, “Permasalahan difabel itu memang
kompleks, namun tetap bisa diselesaikan karena dari atas sudah ada tekstualnya,
tidak seperti masalah HAM berat.”
Lalu mengobrollah kami panjang lebar
tentang masalah itu. Kami juga sempat mengobrol tentang pendanaan lembaga.
Sempat sharing jalur-jalur pun ranah apa saja yang bisa kita jajaki. Blio juga
bilang, “Kalian potensial sekali lho dapet dana kek gitu. Apalagi dengan
melihat basic kalian (Braille’iant).” Kami pun sempat bertukar kartu nama. FYI,
kartu nama blio sudah di desain khusus untuk aksesibel bagi difnet (menggunakan
huruf Braille). Di akhir perjumpaan, blio berpesan, “Keep contact ya!”
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar